Senin, 22 Februari 2010

Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan

Jika saya memikirkan tentang masalah gender, maka yang terlintas pada pemikiran saya adalah sebuah masalah yang sebenarnya sederhana. Mengapa saya katakan sederhana? Karena menurut saya, masalah dasar dari masalah gender ini adalah pupusnya sifat kemanusiaan. Banyak orang mulai mematikan rasa penghargaan terhadap sesama manusia sebagai manusia. Mereka tidak lagi berpegang pada prinsip bahwa semua manusia adalah sama dalam berbagai hal, seperti dalam hal hak dan kewajiban sebagai makhluk yang hidup di dunia. Semua orang, tak terkecuali, berhak untuk mendapatkan hidup yang layak. Semua orang, tak terkecuali, bebas mengeluarkan pendapat dan berkembang menurut proses hidupnya. Semua orang, tak terkecuali, berkewajiban untuk menghargai orang lain. Setiap orang, tak terkecuali, harus turut menjaga ketenangan lingkungannya, mengingat ia merupakan bagian dari lingkungannya itu.

Namun, dalam kenyataaannya, ternyata masalah gender ini tidak sesederhana yang saya pikirkan. Karena di balik masalah gender ini ternyata ada berbagai macam hal yang mempengaruhi perkembangan masalah ini. Hal-hal yang mempengaruhinya adalah faktor-faktor seperti faktor budaya, negara dan kekerasan. Yang akan saya jelaskan adalah dua faktor terakhir, yaitu negara dan kekerasan. Penjelasan berikut ini didapatkan dari buku “Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan”.

Dalam bagian Pengantar dalam buku yang disebutkan di atas, Kartini Syahrir menjelaskan hubungan antara tiga faktor yang disebutkan dalam judul buku tersebut, yaitu negara, kekerasan dan perempuan. Menurut Kartini, negara Indonesia telah mengalami evolusi dari negara yang sederhana (Tribe), ke bentuk negara yang memiliki strata sosial (Huta/Nagari), lalu memasuki fase penjajahan Belanda, yang ‘mengajarkan’ bangsa kita menjadi negara modern dan diatur dengan sistem birokrasi tertentu. Selama proses ini, berlangsung kesinambungan pengaturan nilai yang mengatur hubungan pria dan wanita. Namun sayangnya tidak tercermin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang malah amat bercorak militerisme pada masa Orde Baru. Sedangkan, menurut Kartini, kekerasan dan negara menjadi dua hal yang identik satu sama lain, terutama negara yang dipimpin secara militer. Negara yang bersifat lebih tradisional memiliki masyarakat yang rasional. Dalam arti, di dalam masyarakat seperti ini hak-hak perempuan lebih terjaga dan menurunkan kecenderungan kekerasan yang dilakukan negara terhadap kaum perempuan.

Kartini lalu menjelaskan mengenai perempuan dan gender. Menurutnya, gender sendiri merupakan istilah Barat yang didapat dari Revolusi Industri, dimana terjadi pembedaan pekerjaan untuk pria dan wanita. Apa yang terjadi dari revolusi ini menjadi pilar utama perabadan Barat. Dan secara otomatis mempengaruhi Indonesia, yang mengalami jajahan kolonialisme Belanda. Sehingga hal ini berlaku juga di Indonesia. Misalnya, dalam proses produksi peranan perempuan dibatasi, yang secara hukum diperkuat dengan pencantuman dalam GBHN (pada masa Orde Baru, dan mungkin sampai sekarang), bahwa ada pembatasan profesi untuk perempuan. Adanya rezim militer yang berkuasa secara otoriter selama 32 tahun di Indonesia menumbuh-suburkan terjadinya banyak kekerasan, termasuk terhadap perempuan. Negara ‘membiarkan’ kekerasan terhadap perempuan karena perempuan tidak dianggap hal penting bagi proses-proses produksi, contoh konkritnya, reproduksi pada perempuan dianggap ancaman yang harus diantisipasi dengan program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).

Secara lebih mendetail dan lugas, Gadis Arivia dalam artikel pertama dalam buku ini menjelaskan mengenai “Logika Kekerasan Negara Terhadap Perempuan”. Gadis menjelaskan bahwa negara melalui aparatnya secara langsung atau tidak ‘merestui’ / ‘mendiamkan’ kekekerasan-kekerasan yang khususnya ditujukan ke perempuan. Contohnya kasus terakhir di Indonesia, yaitu aksi perkosaan massal pada tanggal 13,14 dan 15 Mei 1998. Kasus ini terjadi karena adanya muatan politis, yang artinya dilakukan secara terpola dan terorganisir (terlihat misalnya dari adanya 2 kelompok, yaitu kelompok penjarah dan pemerkosa). Kekerasan yang terorganisir yang dilakukan negara terutama menargetkan perempuan sebagai sasarannya, yaitu dengan cara memerkosa.

Sekarang pertanyaan yang timbul adalah “apakah kita hidup dalam budaya perkosaan?” Fakta yang ada mengatakan bahwa tidak ada satu hari pun dimana tidak ada cerita tentang kekerasan seksual di media massa. Apakah itu perkosaan atau pelecehan kepada perempuan/anak, penggambaran perempuan lewat media massa yang melecehkan; semuanya dilakukan tanpa disadari dan diterima oleh masyarakat. Contoh yang paling sederhana adalah bila seorang perempuan keluar dari rumahnya, maka akan banyak lelaki yang mengomentari tentang tubuh, pakaian atau rupanya. Dalam masyarakat seperti ini, budaya memperkosa tumbuh dengan subur. Ada banyak faktor yang mempersulit maksud untuk memerangi budaya ini. Faktor pertama adalah kekerasan seksual telah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat alamiah dalam diri manusia (given), sehingga bukan merupakan hal yang perlu dimintakan pertanggungjawabannya. Faktor kedua, korban berada di pihak yang paling lemah, bahkan mereka berada di pihak yang dipersalahkan. Faktor ketiga adalah hukum perkosaan adalah hak kepemilikan, dimana perempuan sendiri tidak memiliki hak akan seksualitasnya sendiri (atau mungkin akan hak lainnya), bahkan tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan bagian dari integritasnya.

Dari penjabaran ini maka kita akan bertanya-tanya “Mengapa perempuan secara historis maupun budaya dianggap subordinat, terus-menerus dilecehkan?” Mungkin teori Jaques Lacan dapat memberikan suautu kerangka teori besar tentang hal ini. Lacan berkata bahwa setiap masyarakat mengatur dirinya melalui bahasa masyarakatnya dan menginternalisasikan aturan-aturan tertentu seperti peranan gender / kelas, yang ia sebut sebagai Aturan Simbolis. Masyarakat akan terus-menerus memproduksi bentuk-bentuk aturan main yang berlaku di masyarakatnya. Seorang anak akan mengalami proses ketidaksadaran akan dirinya sampai ia mengalami proses pengidentifikasian dirii dengan orang tuanya, sesuai dengan jenis kelaminnya (anak perempuan ke ibunya, anak laki-laki ke ayahnya). Anak perempuan akan merasa tidak sungguh-sungguh memahami Aturan Simbolis, sehingga merasa terasingkan dan tersunyikan karena dipatok oleh aturan-aturan yang ia tak mengerti (Contohnya, dalam buku Perempuan di Titik Nol oleh Nawal El Saadawi, yang menceritakan mengenai cerita nyata seorang pelacur, yang bernama Firdaus yang dihukum mati karena membunuh germonya; Firdaus sewaktu remaja ingin sekali ikut pamannya untuk bersekolah, namun pamannya tidak memperbolehkannya karena sekolah hanya untuk pria katanya, alasan ini tidak dapat dimengerti oleh Firdaus. Yaitu mengapa ada ‘peraturan’ seperti itu. Ketidak-mengertian ini terjadi karena seluruh bahasa yang dipakai dalam Aturan Simbolis adalah bahasa maskulin, yang tidak dapat mengkomunikasikan perasaannya dan pemikirannya, terutama mengingat kaum perempuan tidak memiliki bahasanya sendiri.

Sekarang kita akan menjelaskan “Adakah hubungan negara dengan kekerasan?” Menurut Gadis, negara pada dasarnya adalah kekerasan. Keberadaan negara ditopang oleh kekerasan. Artinya, negara menghidupi dirinya dengan cara mengatur dan mengolah kekerasan. Adapun sumber dari kemampuan negara mengolah kekerasan bermuara pada kekuasaaan politik. Jadi kekerasan dikokohkan untuk mempertahankan kekuasaan. Jika pemahaman terhadap kekerasan negara tidak hanya berhenti pada “hakekat” tetapi pada “politik”, maka bisa dimengerti bagaimana negara merekayasa suatu sistem “nilai” (values) dan “kepercayaan” (beliefs) dalam sistem Aturan Simbolis masayarakat tersebut. Legitimasi kekerasan pertama harus dilakukan lewat ideologi dominan dengan pokok pikiran bahwa ideologi berfungsi untuk melegitimasikan kekuasaan politik tertentu. Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara adalah tamparan keras bagi perempuan Indonesia, terutama bagi feminisme. Sudah saatnya bagi kaum perempuan untuk menggugat secara politis dengan memaksa pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dengan lebih sungguh-sungguh dan lebih jauh lagi, membongkar seluruh Aturan Simbolis yang melekat secara kental dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama ini. Tidak ada jalan lain disini, kecuali mendekonstruksi seluruh cara berbahasa dan cara berpikir individu, kelompok masyarakat dan negara.

Di dalam artikel selanjutnya yang berjudul Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, yang ditulis oleh Toeti Herati Noerhadi, saya tidak akan mengulasnya secara menyeluruh. Namun akan saya soroti mengenai tulisannya adalah hal sebagai berikut. Yaitu bahwa dengan pencantuman soal perlindungan terhadap perempuan dengan dibentuknya “Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan” (CEDAW) dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, yang juga diikuti oleh Indonesia, maka jelaslah bahwa negara mempunyai komitmen terhadap perlindungan hak-hak manusia ditambah lagi komitmen khusus yakni perlindungan terhadap diskriminasi dan bahkan penghapusan akan diskriminasi itu sendiri. Tetapi sebelum kita melihat pelaksanaan konkrit Konvensi tersebut, maka ada pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu. Yaitu sejauh mana kita sebagai perempuan dan sebagai feminis menginginkan perlindungan khusus itu? Sebagai perempuan dengan kodrat biologis yang kita miliki, kita mermbutuhkan perlindungan tersebut, tetapi bukankah sebagai feminis kita mencanangkan dengan lantang menolak anatomy is destiny, dan kebebasan perempuan? Inilah dilema terbesar dan paling serius yang kita hadapi dan kelihatannya sulit mencapai kesepakatan dalam hal ini. Selama kita tidak bersepakat atas posisi kita yang mau bebas tetapi sekaligus mau dilindungi, maka bisa jadi ini akan menjadi lelucon dan guyonan belaka.

Mengapa menurut saya ini menarik? Karena dalam kehidupan sehari-hari, ada teman-teman saya yang perempuan yang di dalam dirinya mempraktekkan tuntutan untuk bebas (melakukan apapun) namun masih menuntut perlakuan khusus dari kaum lelaki, yang merupakan hasil internalisasi nilai-nilai yang bernuansa gender. Adalah hal yang dilematis, bahwa kita ingin melawan dan membongkar ‘genderisme’, namun tetap berpikir dan hidup dalam sistem itu. Yang mana memang tidak dapat dipersalahkan juga karena hal ini telah melekat dalam lingkungan kita dalam jangka waktu yang tak terhitung. Namun ada 1 hal yang saya dapatkan dari perkataan Ibu Megawati Soekarnoputri, yang penting untuk diingat oleh para perempuan, bahwa janganlah menyerah pada keadaan yang memang kita rasa tidak ‘sreg’ dengan diri kita

Senin, 29 Juni 2009

Deja Vu dan Asal-usulnya

Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.

Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vuyang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?

Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif
Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yangmata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yangyang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orangdeja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.

Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.

Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan barudeja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.

Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.

Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vuyang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.
Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.

LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yangyang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.
sebenarnya berasal dari kejadian serupa diterima oleh sebelah sama butapun bisa mengalami mengenai asal-usul dalam kondisi lab sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi