Minggu, 16 November 2008

Wajah Baru, Konfigurasi Lama Artikel

Oleh Indra J. Piliang, 22-06-2007 21:02

DUA tokoh pembina partai politik dari dua partai berbeda, Surya Paloh (Partai Golkar) dan Taufik Kiemas (PDIP),bertemu di Medan.Pertemuan ini mendadak menimbulkan spekulasi politik, terutama dengan adanya sinyal-sinyal tentang koalisi, aliansi,atau sebutan lainnya.
Kepiawaian Surya-Taufik dalam membangun sentimen politik telah memicu kalkulasi serius, antara lain dengan menyebut tahun 2009 sebagai sasaran strategis dan delegitimasi kekuasaan Presiden Yudhoyono sebagai titik pertaruhan. Kalau dirunut ke belakang, pertemuan Golkar dengan PDIP ini sudah terjadi beberapa kali pada tahun 2007 ini. Akhir Januari, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla bertemu dengan Sekjen PDIP Pramono Anung di New Delhi, India. Setelah itu, Kalla juga berjumpa Taufik Kiemas dalam acara yang digelar GP Ansor pada akhir Juni.Fasilitator pertemuan adalah Ketua Umum GP Ansor yang baru lengser dari kabinet, Saifullah Yusuf. Dua pertemuan ini diliput oleh pers. Setahu penulis, sudah terdapat sejumlah pertemuan tertutup lain yang tidak diketahui pers yang melibatkan petinggi partai. Artinya, pertemuan di Medan yang mulai melibatkan bendera-bendera kedua partai, berikut kaderkadernya, menunjukkan bahwa sudah ada kerja sama politik yang berjalan dengan baik. Artinya,kita tidak perlu merasa terkejut atas pertemuan-pertemuan itu, bahkan juga pertemuanpertemuan berikutnya. Berbeda dengan pembentukan Koalisi Kebangsaan pada waktu perebutan posisi pimpinan DPR 2004–2009 yang digagas oleh Akbar Tandjung, Megawati Soekarnoputri, Hamzah Haz, dan Abdurrahman Wahid, pergerakan politik sekarang dinakhodai pelaku-pelaku politik yang lebih profesional. Elemen struktural partai politik lebih banyak dilibatkan, tanpa perlu memicu keguncangan politik. Arena uji coba ketahanan koalisi politik baru ini secara riil dapat dilihat dalam proses pemilihan Gubernur Banten dan Gubernur DKI Jakarta. Dengan idiom-idiom ”NKRI, Pancasila, dan UUD 1945”, terlihat koalisi baru ini lebih berupaya menyatukan visi dan misi terlebih dulu ketimbang kepentingan politik jangka pendek dan menengah. Penggunaan idiom-idiom itu bisa mengarah kepada politik ideologis, yakni berdasarkan politik aliran yang pernah muncul sejak pembentukan UUD oleh Dewan Konstituante hasil pemilu 1955. Tiga Kerja Sama Konfigurasi politik tentu akan mengalami perubahan jika pertemuan Golkar-PDIP ini diteruskan dalam konteks yang lebih luas.Tatanan nasional dan internasional Indonesia juga mendapatkan pengaruh, mengingat kedua partai memiliki pengikut di kalangan masyarakat Indonesia secara hampir merata,tanpa mengenal kelas sosial, etnis, agama, ataupun tingkat pendapatan. Kedua partai politik juga mengendalikan pemerintahan lokal lewat kepala-kepala daerah. Untuk itu, mereka merasa perlu bekerja sama dalam bentuk yang lain. Pertama dalam merancang paket undang-undang bidang politik. Ada kebutuhan kedua partai politik ini untuk mempertahankan dominasi dalam sistem politik Indonesia sehingga terdapat kepentingan yang sama dalam mengajukan pasal-pasal atau ayat-ayat yang memberikan keuntungan maksimal. Penerapan sistem proporsional terbuka tanpa nomor urut dengan batas minimal 25% dari bilangan pembagi pemilih dan syarat dukungan lebih dari 25% suara pemilu legislatif bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah bentuk dari kepentingan yang sama itu. Kedua, dalam mengawal konsepsi kebangsaan yang sudah menjadi bagian integral perjalanan kedua partai, terutama tekanan ke arah nasionalisme, sekularisme, dan pluralisme. Soekarnoisme dan Soehartoisme dalam bidang politik di Indonesia memiliki kesamaan dengan Attaturkisme di Turki. Dalam masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, dukungan tentara di bidang politik menjadi perlu, tetapi sekarang justru masuk dalam lapangan politik praktis. Penyingkiran gerakan-gerakan separatis, penangkalan fundamentalisme religius, dan homogenisasi pemikiran, telah menjadi manifestasi dari pengawalan itu. Ketiga, kewaspadaan kepada pengaruh regionalisme dan globalisme yang pada gilirannya membenamkan Indonesia sebagai bangsa yang tidak memiliki martabat. Sikap kritis terhadap apa yang mereka sebut sebagai ”intervensi Amerika Serikat”dalam sejumlah soal, termasuk dalam kasus Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB, telah memicu kerja sama kedua partai ini dalam interpelasi. Persoalan Blok Ambalat dan masalah perbatasan dengan Timor Leste akan menjadi titik-titik penting bagi semangat kritis yang dibangun kedua partai politik ini. Penyamaan visi, misi, dan persepsi pada–minimal–ketiga hal itu terbaca dari serangkaian pernyataan para tokoh kedua partai politik. Begitu pula termuat dalam rekomendasi-rekomendasi rapatrapat kerja nasional dan kiprah politikus keduanya di parlemen. Kepercayaan diri yang tinggi sebetulnya terjadi dalam level pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota, yakni keduanya menjadi mayoritas absolut. Tidak mengherankan kalau keduanya tidak mengambil panggung-panggung politik nasional, melainkan seperti hinggap dari satu pulau ke pulau lain untuk mengayunkan kanvas politik. Konfigurasi Baru Paparan itu memperlihatkan bahwa kedua partai dan tokohtokohnya tidak lagi memainkan pola politik populisme yang berbasiskan tokoh. Pola-pola pertemuan ”bilateral” yang dilakukan oleh Amien Rais dengan Yudhoyono atau antara Yudhoyono dengan Soetrisno Bachir dan lain-lain akan semakin ditinggalkan. Maka, menjadi jelas bahwa tokoh-tokoh seperti Soetrisno, berikut partai politiknya, PAN, sudah dengan sendirinya diabaikan. Begitu juga dengan PKS yang sudah ditempatkan berseberangan secara ideologis. PKB juga tidak diajak,terutama dengan tidak adanya lagi tokoh penting. PAN yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang Amien, PKB yang dihuni terus oleh Abdurrahman Wahid dan PKS yang komunalistik dalam pengambilan keputusan, tentu kesulitan dalam membangun manuver politik ”secanggih” Golkar dan PDIP ini. Sekalipun partai-partai ini membentuk koalisi ideologis semacam ”keluarga Masyumi”, tetap saja lebih banyak mengandung benih perpecahan,daripada persamaan. Begitu pun Partai Demokrat yang berpolitik untuk Yudhoyono dan kekurangan sumber daya manusia yang punya talenta, tentu hanya dianggap sebagai ”kerumunan”. Partai yang terlalu cepat besar dalam perolehan dukungan pemilih ini memiliki kelemahan secara organisasional. Partai ini juga tidak dibiarkan melakukan manuver politik secara otonom, di luar pengaruh Yudhoyono, misalnya dalam kasus penarikan kembali dukungan ke arah amandemen UUD yang dirancang DPD RI. PPP tentu bisa menjadi penyeimbang secara ideologis,terutama dengan kehadiran kaum profesional dalam jajaran fungsionarisnya. PPP juga sudah pernah ”akrab” secara politik dengan Golkar dan PDIP, terutama kalau melihat pada patokan hari ulang tahun ketiga partai yang melebihi angka 30 tahun. Sehingga,terlihat sekali betapa PPP adalah partai yang paling tidak banyak dimusuhi dan paling mudah berteman dengan partai politik manapun. Dengan konfigurasi itu, terasa memang pola lama hadir kembali. Tidak ada yang benar-benar baru. Yang menarik tentu masing-masing tokoh politik,yang notabene bukan tokoh-tokoh ideologis, sudah mulai kembali ke basis ideologi partai. Terlepas dari proses rekayasa menurut aturan perundang-undangan yang dilakukan, kembalinya tokohtokoh partai pada pikiran-pikiran dasar semacam nasionalisme, telah menandakan bahwa partai bukan sekadar alat kekuasaan semata.(*)
Masih Tidak bisa Berpikir Merdeka
Artikel

Oleh Utche Felagonna, 14-05-2008 17:13

Phobia yang Mengakar dalam Benak Penjajahan Baru

Memang butuh kesiapan untuk disetempeli sebagai seorang komunis, marxist atau masih mujur mereka yang simpati dengan kaum komunis, oleh orang banyak di Indonesia saat ini, orang banyak hasil didikan orde baru selama lebih 30 tahun. Orang banyak yang telah terdoktrinasi dengan begitu kuat oleh trauma masa lalu yang selalu saja menjadi penghalang untuk bisa berfikir rasional tentang apa saja. Bukan bermaksud untuk menghakimi semua orang, akan tetapi realita di Indonesia saat ini adalah adanya orang banyak yang sangat pragmatis, sehingga tidak terlalu suka untuk berfikir panjang, bahkan sekedar untuk meneliti apa yang akan mereka pakai dalam hidup keseharian.

Terserah hal ini akan terjebak dalam pemetaan yang biasa dilakukan Gus Dur lewat lontaran-lontarannya, namun ada sesuatu yang menarik untuk dianalisa, bahwa di dunia politik Indonesia saat ini masih sangat sulit untuk menerima perbedaan sebagai esensi dasar demokrasi. Ujung-ujungnya kita kembali lari pada demokrasi Pancasila yang bagi generasi kritis terbaru telah menjadi momok. Demokrasi yang dalam prakteknya bukan demokrasi tetapi diktaktorisme negara yang hegemonik atau bisa dikatakan sebagai feodalisme moderen.

Idealis-Pragmatis-Materialis

Amerika juga mencantumkan In God We Trust, disetiap kesempatan, namun ada partai komunis disana, ada kelompok kecil masyarakat yang materialis, diantara sekelompok besar masyarakat yang katanya idealis, namun dalam praktek tidak lebih sebagai gurita raksasa yang mencengkeram hingga kamar mandi individu-individu. Seperti juga di Indonesia yang mencantumkan KeTuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam dasar negaranya. Akan tetapi apakah itu berarti hanya mereka yang idealis saja yang boleh hidup di bumi Indonesia? Kalau benar seperti itu, berarti kita benar-benar harus memutuskan untuk melakukan gerakan cuci otak dan barangkali penghilangan satu generasi lagi sebagai konsekuensi dari pilihan kita tersebut. Bukankah hal tersebut akan bertentang dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, bisa ya bisa tidak, karena kita telah menyatakan bahwa hanya mereka yang idealis yang boleh hidup di Bumi Indonesia maka itu adalah keadilan yang diikat oleh hukum sebagai manusia yang mempunyai peradaban, ya peradaban jahilliyah. Atau karena prinsip keadilan adalah kesepakatan warga bangsa Indonesia, siapapun itu, maka dirumuskanlah peradaban idealis yang menolak segala bentuk pemikiran materialis. Silahkan memberikan nama yang cukup indah untuk peradaban seperti itu.

Kita mempunyai kesalahan yang cukup besar dengan memberikan legitimasi dan secara kultural suatu hak yang teramat besar bagai mereka yang telah dilabeli embel-embel ilmu pengetahuan untuk menjustifikasi atau memberikan pembenaran, seperti Tuhan saja, terhadap segala sesuatu. Tidak semua orang bisa memberikan argumen dan mengeluarkan isi pemahamannya dalam ruang publik, secara tidak sadar kita telah melalukan sensor-sensor yang begitu ketat melalui label-label pengajaran tadi. Forum-forum dialektis hanya diisi oleh mereka-mereka yang mempunyai akses secara formal terhadap hal-hal dialektis. Ada keterkungkungan yang sangat kuat dalam usaha membongkar hal tersebut. Dampaknya telah sama kita rasakan, tidak ada kesempatan untuk sebuah perdebatan dialektis antara mereka yang berlabel dan mereka yang tidak berlabel. Sebuah proses pengerdilan cara berfikir yang tampa sadar membuat kita menjadi mahluk-mahluk mandul yang tak lagi bisa kreatif, bahkan untuk menemukan sebuah pelarian dari kejenuhan.

Merdeka atau Tidak Sama Sekali

Bagaimana dengan kemerdekaan berpikir? Sudah barang tentu dengan sistem yang masih sangat birokratif dan sangat feodal itu tidak ada kemerdekaan berpikir, yang barangkali ada hanya onani intelektual dalam kamar-kamar yang tersekat-sekat tanpa ada kesempatan lebih untuk menerobos sekat itu secara revolusioner. Mereka yang tidak berlabel (label disini barangkali seperti gelar, pangkat dan lain-lain) barangkali harus melakukan tindakan yang agitatif, demonstratif atau membuat kontroversi yang bisa menaikan nilainya dalam pembicaraan orang banyak. Atau barangkali mereka harus menjadi sangat kaya sekali terlebih dahulu untuk bisa mengambil tempat dalam perdebatan dialektis, karena saat ini dengan uang siapapun bisa tampil dalam ruang publik.

Dengan hal begitu saja, mereka yang tidak tercandra sebagai sebuah individu yang serupa sehingga bisa dikatakan sepaham dengan komunitas yang homogen, akan sangat mudah tersingkirkan dan tidak mudah untuk mempunyai pengaruh yang bisa mengubah tatanan sosial orang banyak. Pendek kata mereka yang mempunyai pemikiran yang lain dari mayoritas orang banyak akan sangat sulit untuk mempengaruhi dan mengajak apalagi untuk bisa melakukan perubahan. Sehingga alasan bahwa dalam kajian sejarah ada sekelompok massa yang materialistis telah berusaha untuk melakukan perubahan dalam struktur orang banyak, bahkan dengan cara apapun, sehingga bertentangan dengan bla bla bla, sehingga harus dilarang dan ditumpas hingga akar-akarnya, seakan menjadi alasan yang sangat mengikat kita hingga kiamat.

Kita menjadi lebih Tuhan dari Tuhan itu sendiri, kita menjadi sangat anarkis terhadap kemanusian yang berlatar pemikiran dan rasionalitas manusia yang terus berkembang, bukan kita menjadi penghalang dari apa yang seharusnya terjadi. Kita menjadi status quo yang tidak terbantahkan, bukan karena kita paham apa yang harus dipertahankan akan tetapi lebih pada kepatuhan dan keterikatan kita pada mereka yang secara birokratif dan feodal telah mengikat kita bahkan sampai pada pikiran kita sendiri.

Penjajahan harus dan harus kita ingat sebagai bentuk dari pengingkaran terhadap kebebasan dan kemerdekaan yang telah diberikan Tuhan kepada kita di dunia ini. Penjajahan bukan saja berarti ada penindasan secara fisik dan materi, bahkan jika kita mengkaji lebih dalam bukankah penjajahan yang paling kejam adalah penjajahan terhadap hak kita untuk berpikir. Tuhan pun barangkali bisa disalahkan jika ia memberikan kita pikiran namun dengan pikiran itu pula kita saling membunuh. Siapa menguasai dan siapa yang dikuasai?

Satu hal yang harus mulai kita mulai adalah penghilangan bangunan traumatis yang selalu saja kita bangun dan kita bangun secara luas dalam hidup orang banyak adalah salah satu bentuk dari teror-teror yang terlalu sering menjadi salah satu contoh pula dari pemerintahan fasis. Jika teror-teror seperti itu bukan lagi menjadi hak mutlak negara, sehingga masyarakat juga mempunyai hak untuk melakukan teror maka ia secara tidak langsung menjadi contoh pula dari masyarakat yang fasistik, orang banyak yang fasis. Bangunan sosial yang berlatar dan selalu diwarnai oleh teror antar masyarakat.

Kita mulai mengkaji peraturan-peraturan yang mengekang dan tidak memberikan kemerdekaan yang penuh bagi warga negara dan unsur-unsur orang banyak, untuk berkreasi dan berpartisipasi dalam ruang komunikasi orang banyak (ruang publik). Baik itu aturan-aturan formal birokratis peninggalan orde baru, maupun peraturan-peraturan yang menjadi dasar gerak warga bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dalam lingkup negara. TAP MPRS No. XXV/1966 terletak dalam peraturan dasar yang menjadi landasan bergerak warga bangsa dalam bidang ideologi. Kita masih saja berangkat dalam pemahaman ideologi yang satu dan tidak terbantahkan, sekalipun aturan asas tunggal telah dicabut, tapi dalam wacana kita masih tetap saja dalam kerangka pemikiran bahwa ideologi harus tetap satu, demokrasi yang belum lengkap dan sempurna dalam syarat-syaratnya.

Kemudian barangkali sebuah kerja kebudayaan untuk melakukan sebuah penetrasi kebudayaan yang demokratis kedalam wacana masyarakat, penetrasi yang juga harus demokratis tanpa kekerasan dan arogansi yang meluas, sebagai suatu syarat bagi sebuah bangunan utuh demokrasi, yang tidak hanya berada dalam aturan-aturan diatas kertas belaka. Tetapi menjadi jiwanya orang banyak. Karena demokrasi yang baru kita kenal hanya demokrasi kulit ari kacang yang belum menyentuh isinya sebagai sebuah bentuk peradaban manusia.

Namun sayangnya kita masih tetap terjebak, pun hingga saat ini. Terjebak dalam pemahaman masa lalu yang terlalu terikat oleh bangunan traumatis yang dibuat oleh orang lain buat kita. Kita tidak melihat kegoncangan sebagian besar generasi muda Indonesia pasca reformasi, mereka baru mencoba menikmati kebebasan yang lebih mengajak mereka untuk berpikir atau lebih sedikit ideologis, dibandingkan generasi sebelum mereka yang lebih banyak menikmati kebebasan konsumtif yang membelenggu cara pikir dialektis mereka jauh dibawah lantai disko maupun aspal jalanan.

Sekarang tinggal kita memilih, apakah kita tetap memberikan kemerdekaan untuk mengkonsumsi tanpa ada perdebatan dialektis, sehingga mekanisme pasar bisa berjalan cepat dan perputaran uang juga cepat, atau kita memberikan mereka sebuah kemerdekaan yang lebih bermutu, membiarkan mereka untuk berpikir merdeka dalam aturan-aturan yang demokratis, sekalipun sekalipun hasilnya hanya menyebabkan tersendatnya mekanisme pasar karena kekritisan mereka yang dialektis? Hal ini adalah kewajiban mereka yang berlabel atau tidak berlabel untuk berdebat.

Komunisme dan Indonesia Saat ini

Komunisme memang selalu menjadi momok bagi kapitalis dan kaum feodal, sejarah juga memberikan faktanya kepada kita, tanpa atau dengan adanya teori kelas dari Marx, realita pertentangan akan mencari namanya yang lain, pun bahkan jika saat ini kita menutup mata dan telingga akan adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat, pertentangan itu akan tetap ada dan adalah realita. Sekalipun kita membohongi diri kita sendiri bahwa tidak ada penindas dan golongan tertindas, realitas itu tetap ada dalam kerumunan orang banyak disekitar kita.

Marxisme tetap akan menjadi momok bagi kapitalisme yang sedang tumbuh dalam masyarakat dunia ketiga, karena bangunan sosial yang sangat mendukung bagi aplikasi dan penerapan teori-teori, baik itu klasik maupun modern dalam struktur ekonomi politik orang banyak sangat majemuk disebagian besar negara dunia ketiga. Indonesia adalah negara terbelakang yang potensial baik itu bagi penterapan teori-teori kapitalisme maupun sosialisme/marxisme. Sehingga banyak kepentingan yang bermain dalam pertentangan laten antara dua kekuatan ideologis ini.

Orang banyak sekali lagi tidak bisa disalahkan untuk tetap terjebak dalam kajian-kajian filsafat idealis versus materialis, karena memang di Indonesia filsafat pun melulu adalah kaji hafalan bukan pemahaman seperti kebanyakan teori-teori yang dicecoki dalam mulut orang banyak baik itu dalam institusi pengajaran maupun lewat media propaganda.

Sekalipun diakhiri dengan sangat pesimis, bahwa dalam waktu dekat kita akan bisa merdeka dalam berpikiran; memiliki demokrasi yang menjadi jiwa orang banyak; mengharapkan masyarakat generasi terbaru yang kritis, kreatif dan merdeka; dan dalam sebuah keutuhan bangsa yang berdaulat, mandiri dan memiliki integritas pribadi yang tinggi dalam peradaban yang mereka ciptakan sendiri, setidaknya ini menjadi pembuka awal bagi mereka yang pro terhadap kemerdekaan berpikir untuk turut urun suara. Pun tidak memberikan sebuah kemakluman akan sebuah kearifan akan muncul dalam hati orang banyak bangsa Indonesia dalam waktu dekat, selama akar feodalisme kepatuhan masih mengikat kita dalam budaya apatis, pragmatis dan tidak kritis, terjebak oleh simbol-simbol yang selalu lebih berharga dibandingkan isinya.


Kamis, 06 November 2008

Sekilas Tentang Pengertian Modal


Dalam ilmu ekonomi, istilah “capital” (modal) merupakan konsep yang pengertiannya berbeda-beda, tergantung dari konteks penggunaannya dan aliran pemikiran (school of thought) yang dianut. Secara historis konsep modal juga mengalami perubahan/perkembangan (lihat Snavely, dalam Encyclopedia Americana 1980:595):

Dalam abad ke-16 dan 17 istilah “capital” dipergunakan untuk memnunjuk kepada, atau (a) stok uang yang akan dipakai untuk membeli komoditi fisik yang kemudian dijual guna memperoleh keuntungan, atau (b) stok komoditi itu sendiri. Pada waktu itu istilah “stock” dan istilah “capital” sering dipakai secara sinonim. Perusahaan dagang Inggris yang didirikan dalam masa itu atas dasar saham misalnya, dikenal sebagai “Join Stock Companies” atau “Capital Stock Companies”.

Adam Smith dalam the Wealth of Nation (1776), juga menggunakan istilah “capital” dan “circulating capital”. Pembedaan ini didasarkan atas kriteria sejauh mana suatu unsur modal itu terkonsumsi dalam jangka waktu tertentu (misal satu tahun). Jika suatu unsur modal itu dalam jangka waktu tertentu hanya terkonsumsi sebagian sehingga hanya sebagian (kecil) nilainya menjadi susut, maka unsur itu disebut “fixed capital” (misal mesin, bangunan, dan sebagainya). Tetapi jika unsur modal terkonsumsi secara total, maka ia disebut “circulating capital” (misal tenaga kerja, bahan mentah dan sarana produksi). Pembedaan semacam ini (yang juga masih umum dipergunakan sampai sekarang), mendapat kritik dari Marx (lihat Bottomore 1983:60—63).

John Stuart Mill dalam Principle of Political Economy (1848) menggunakan istilah “capital” dengan arti: (1) barang fisik yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lain, dan (2) suatu dana yang tersedia untuk mengupah buruh.
Pada akhir abad ke-19, modal dalam arti barang fisik yang dipergunakan untuk menghasilkan barang lain, dipandang sebagai salah satu di antara empat faktor utama produksi (tiga lainnya adalah tanah, tenaga kerja dan organisasi atau managemen). Para ahli ekonomi neo-klasik pun menggunakan pandangan ini (misalnya Alfred Marshall dalam Principles of Economies 1890).

Sekarang, “modal” sebagai suatu konsep ekonomi dipergunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Dalam rumusan yang sederhana, misalnya Mubyarto memberikan definisi: “modal” adalah barang atau uang, yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang baru” (1973:94). Dalam artian yang lebih luas, dan dalam tradisi pandangan ekonomi non-Marxian pada umumnya, “modal” mengacu kepada “asset” yang dimiliki seseorang sebagai kekayaan (wealth) yang tidak segera dikonsumsi melainkan, atau disimpan (“saving” adalah “potential capital”), atau dipakai untuk menghasilkan barang/jasa baru (investasi). Dengan demikian, modal dapat berwujud barang dan uang. Tetapi, tidak setiap jumlah uang dapat disebut modal. Sejumlah uang itu menjadi modal kalau ia ditanam atau diinvestasikan untuk menjamin adanya suatu “kembalian” (rate of return). Dalam arti ini modal juga mengacu kepada investasi itu sendiri yang dapat berupa alat-alat finansial seperti deposito, stok barang, ataupun surat saham yang mencerminkan hak atas sarana produksi, atau dapat pula berupa sarana produksi fisik. Kembalian itu dapat berupa pembayaran bunga, ataupun klaim atas suatu keuntungan. Modal yang berupa barang (capital goods), mencakup “durable (fixed) capital” dalam bentuk bangunan pabrik, mesin-mesin, peralatan transportasi, kemudahan distribusi, dan barang-barang lainnya yang dipergunakan untuk memproduksi barang/jasa baru; dan “no-durable” (circulating) capital, dalam bentuk barang jadi ataupun setengah jadi yang berada dalam proses untuk diolah menjadi barang jadi. Terdapat pula adanya penggunaan istilah “capital” untuk mengacu kepada arti yang lebih khusus, misalnya “social capital” dan “human capital”. Istilah yang pertama mengacu kepada jenis modal yang tersedia bagi kepentingan umum, seperti rumah sakit, gedung sekolahan, jalan raya dan sebagainya; sedangkan istilah yang kedua mengacu kepada faktor manusia produtif yang secara inherent tercakup faktor kecakapan dan keterampilan manusia. Menyelenggarakan pendidikan misalnya, disebut sebagai suatu investasi dalam “human capital” (Schultz 1961, menurut Mubyarto 1973:98).

Para ahli ekonomi non-Marxian—apapun mazhab yang dianutnya—pada umumnya mengikuti pengerian-pengertian di atas, sedangkan Marx menggunakan istilah “capital” untuk mengacu kepada konsep yang sama sekali lain. “Modal” bukanlah barang, melaikan hubungan (produksi) sosial yang menampakkan diri sebagai barang. Memang, berbicara tentang modal berarti berbicara tentang “bagaimana membuat uang”, tetapi asset yang “membuat” uang itu mewadahi hubungan khusus antara si pemilik dengan yang bukan pemilik sedemikian rupa sehingga bukan saja bahwa uang “dibuat”, tetapi juga bahwa hubungan-hubungan pemilikan pribadi yang melahirkan proses tersebut secara terus-menerus terlestarikan (Bottmore 1983:60).

Dengan demikian, “capital” adalah suatu konsep abstrak yang manifestasinya dapat berupa barang atau uang. Karena itu, ia merupakan kategori yang kompleks, yang tidak cukup diterangkan hanya dengan satu definisi. Konseptualisasi Marx mengenai “capital” barangkali dapat dijabarkan secara sederhana dalam enam butir pokok berikut ini (Bottomore 1983:60—63):

Pertama, transformasi uang menjadi modal berjalan melalui proses tertentu, terdiri dari dua rangkaian transaksi dalam suasana sirkulasi, yaitu: (1) menjual komoditas (K) dan uang yang diterima (U) dipakai untuk membeli komoditas lain; dan (2) membeli komoditas untuk kemudian dijual lagi (Secara bagan: K-U-K; dan U-K-U).

Kedua, dalam rangkaian transaksi itu faktor “nilai” menjadi penting, sebab terutama dalam U-K-U, transaksi itu hanya bermakna jika jumlah uang pada titik akhir menjadi lebih besar daripada jumlah asal (kalau tidak, ya bagaimana keuntungan dapat diperoleh). Kalau pertukaran itu merupakan pertukaran nilai yang setara, bagaimana tambahan uang bisa diperoleh? Sebaliknya, kalau tidak setara, berarti nilai itu sendiri tidak tercipta. Marx menjawab persoalan ini dengan menerapkan “nilai-guna”. Nilai guna mempunyai sifat “menciptakan” nilai tambahan atau “nilai-lebih”. Komoditas yang mempunyai nilai-guna seperti itu adalah tenaga kerja.

Ketiga, jalur K-U-K, secara tipikal mengacu kepada transaksi pengupahan tenaga kerja. Buruh menjual tenaganya untuk memperoleh sejumlah uang (berupa upah) yang pada gilirannya dipakai untuk membeli barang lain (pangan dan lain-lain kebutuhan) yang diperlukan untuk dapay me-“reproduksi” tenaganya. Karena itu dalam transaksi ini, uang sama sekali tidak bertindak sebagai modal (Bandingkan dengan Mill di atas). Namun, jika dilihat dari arah transaksi yang terbalik, yaitu dari si penguah, dan “nilai” dimasukan, maka uang di sin dapay disebut sebagai unsur modal yang oleh Marx disebut dengan istilah variable capital (VC) (lihat poin enam di belakang). Tetapi VC dilihat dari si pengupah.

Keempat, sebaliknya, jalur U-K-U meupakan transaksi yang mencakup pembelian sarana produksi yang kemudian diolah menjadi produk yang kmudian dijual untuk memperoleh uang lebih banyak. Jadi, berbeda dengan upah yang dibelanjakan untuk membeli barang yang dikonsumsi dan kemudian lenyap sama sekali, dalam jalur U-K-U ini uang hanya merupakan “advance” untuk kemudian muncul kembali dalam jumlah yang lebih banyak. Disinilah uang ditranformasikan menjadi capital dalam suatu proses historis ketika tenaga kerja menjadi komodits—di sini terkait dengan konsep freedom makna ganda).

Kelima, dengan demikian, modal dalam konsep Marx adalah “nilai yang membengkak sendiri” (self expanding value) atau “nilai dalam gerak” (value in motion).

Keenam, ada sepasang konsep lagi dari Marx yang sering dikacaukan penggunaannya dengan konsep fixed dan circulating capital dari ekonomi non-Marxian, yaitu apa yang disebut constant capital (CC) dan variable capital (VC). Kedua pasangan itu sama sekali berbeda maknanya. CC adalah bagian dari modal yang dikeluarkan (advance) untuk diubah menjadi sarana produksi yang dalam proses produksi tidak mengalami perubahan nilai. Artinya, “nilai” sarana produksi itu disimpan dalam “nilai” produk yang dihasilkan, suatu proses pengalihan “nilai” melalui proses kerja. Proses produksi adalah transformasi “nilai-guna”. Nilai-guna dari barang (sarana produksi) yang diolah, dikonsumsi. Tetapi “nilai” barang itu sendiri dialihkan ke dalam produk baru. Demikian tentang CC. VC adalah bagian dari modal yang dikeluarkan untuk diubah menjadi tenaga kerja yang dalam proses produksi kegiatannya menuju kepada dua arah, yaitu produksi nilai setaranya sendiri, dan di lain pihak menghasilkan “nilai-tambah”, yang besarnya bragam menurut keadaan.
Dengan demikian, dalam konsep Marx, unsur-unsur modal itu dapat dibedakan menurut dua macam kriteria. Pertama, dari kriteria proses kerja, ada faktor obyektif yaitu sarana produksi, dan ada faktor subyektif yaitu tenaga kerja. Kedua, dilihat dari segi penetapan nilai (valorization), ada constant capital dan ada variable capital.
Demikianlah tinjauan tentang berbagai konsep modal, sekadar untuk berusaha memperluas wawasan.

Keterangan: tulisan ini merupakan cuplikan dari usulan penelitian Gunawan Wiradi, Capital Formation di Pedesaan, tanpa tahun, halaman 3—7.

Pornografi, Kewajiban Utama Pejabat Negara

Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi menjadi Undang-Undang Pornografi disambut riuh tepuk tangan sekaligus protes lantang dari banyak pihak di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Mereka yang menolak menilai pengesahan tersebut sebagai bentuk legitimasi atas pemenjaraan dan pengucilan terhadap perempuan. Sementara yang mendukung meyakini bahwa aturan itulah jawaban atas persoalan moral yang melanda bangsa Indonesia.

Perbedaan pendapat itu sudah ada sejak gagasan undang-undang ini digulirkan. Saling “serang” terjadi antarkelompok yang berbeda pandangan. Organisasi perempuan dan media, termasuk wartawannya, turut terpecah belah. Bibit-bibit sektarian mulai tumbuh subur.

UU Pornografi itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah ironi. Para penyelenggara negara bukannya berkonsentrasi bagaimana mewujudkan kesejahteraan rakyatnya sebagaimana diamanatkan konstitusi (UUD 1945, justru malah sibuk “mengurusi” hal di luar kewajiban dan tanggungjawab utama dia. Tragisnya, malah sibuk menjajakan aset negara (baca: kekayaan rakyat) kepada pemodal. Demi pertumbuhan ekonomi? Pertumbuhan untuk siapa? Hanya untuk segelintir orang saja! Jika bukan, tak akan ada petani tak bertanah, tak akan ada penduduk yang mengalami gizi buruk di atas tanah subur Indonesia.

Suka atau tidak, itulah kenyataan yang kita hadapi saat ini. Undang-Undang Pornografi kini sudah diberlakukan. Seperti halnya kenaikan harga bahan bakar minyak, warga negara harus menerima dengan terpaksa. Itulah pengorbanan warga negara demi apa yang sesungguhnya tidak diperoleh untuk kebutuhan hidupnya. Begitupun dengan UU Pornografi. Rakyat dipaksa menerima, meski persoalan utama mereka bukan itu.

Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak lupa bahwa kewajiban utama penyelenggara negara Indonesia bukan untuk memuasakan kepentingan satu golongan di atas golongan lainnya. Kewajiban utama dia adalah menjalankan amanat konstitusi untuk kepentingan seluruh warga negara Indonesia. Sekali lagi, untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali!

Minggu, 02 November 2008

Man can not obtain anything without first sacrificing something
In order to obtain anything, something of equal value is required
That is Alchemy's law of equivalent exchange
At the time we believed that to be the true way of the world

Satu Nusa Satu Bangsa..Satu Bangsa dari Hongkong


Surat Terbuka
Yogyakarta, 16 Oktober 2008
Kepada kawan-kawanku Bangsa Indonesia






Kawan,
Senin, 13 Oktober 2008 kemarin, saya dan teman-teman Forum Yogyakarta untuk Keberagaman (YuK!) mengikuti acara `Dengar Pendapat dalam Rangka
Uji Publik RUU Pornografi'. Acara yang diadakan oleh Pansus RUU
Pornografi dari DPR berlangsung di Gedung Pracimosono, Kompleks Kantor
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketua Pansus RUU Pornografi,
Balkan Kaplale, juga datang ke acara itu.
Sekitar enam puluh orang —pro (mayoritas) maupun kontra— hadir
sebagai peserta forum. Dalam sesi dengar pendapat pertama, enam
peserta dipilih untuk bicara. Acara sudah berlangsung sekitar 1 jam
saat seorang kawan dari Papua, Albert, ditunjuk moderator untuk
menyampaikan pendapat.
Albert datang mewakili 3000 mahasiswa Papua di Jogja, dan telah
meminta ijin pada dewan adat dan tokoh masyarakat Papua untuk mewakili
warga Papua dalam menyampaikan aspirasi. Di forum, ia mengusulkan agar
RUU Pornografi tidak disahkan. Sebab, RUUP tidak memberi ruang bagi
kaum minoritas, dan membuat Negara Indonesia seolah-olah hanya milik
sekelompok orang. Jika RUUP disahkan, lebih baik Papua melepaskan diri
saja, karena tidak diperlakukan adil.
Saat giliran Pansus bicara, Balkan Kaplale langsung menanggapi
pernyataan Albert. Balkan menyapa Albert dengan sebutan "Adinda" dan
berkata: "Jangan begitu dong ah..overdosis..tak usah ngapain keluar
dari NKRI. Timor-timur aja perdana menterinya kemaren mengadu ke
Komisi 10, nangis-nangis, rakyatnya miskin sekarang. Betul, belajarlah
ke Ambon, saya kebetulan dari Saparua loh. Kalau mendengar begini
tersinggung! Belajar baik-baik dari Jawa! (diucapkan dengan kencang
dan bernada bentakan)"
Balkan juga berkata "Belajarlah baik-baik! Kalau perlu kau ambil orang
Solo supaya perbaikan keturunan! (membentak)"
Sebagian besar peserta forum langsung tertawa mendengar kalimat itu.
Namun kemudian beberapa peserta lain dan para wartawan berteriak,
"Rasis! DPR Rasis!!"
Balkan: "Diam dulu nanti kita kasih kesempatan bicara, sampai malam
kita di sini! Diam dulu! Ini kan hak Ketua DPR juga dong, Ketua Pansus!"

***
"Belajar baik-baik dari Jawa! Kalau perlu kau ambil orang Solo supaya
perbaikan keturunan!"
Kawan,
Hati saya sakit sekali saat mendengar perkataan Balkan Sang Anggota
DPR sekaligus Ketua Pansus RUUP. Padahal kata-kata itu tidak ditujukan
pada saya. Saya bukan orang Papua. Saya tak bisa membayangkan,
bagaimana perasaan Albert dan kawan-kawan lain dari Papua mendengar
ungkapan Balkan yang bernada kasar dan isinya jelas menghina itu.
Betapa pedihnya!
Yang membuat hati saya lebih sakit lagi, sebagian besar peserta forum
yang mayoritas dari etnis Jawa, langsung tertawa saat mendengar ucapan
Balkan. Mengapa masih bisa tertawa saat ada saudara kita yang dihina?
Apa karena Balkan meninggikan etnis Jawa, lantas kita layak tertawa
bahagia?
Kita adalah saudara. Sabang sampai Merauke. Kita: orang Batak, Jawa,
Sunda, Betawi, Madura, Dayak, Bugis, Flores, Papua, dan lain-lain;
telah berikrar untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita setara. Tidak ada satu suku atau etnis pun yang tebih tinggi
derajatnya dari yang lain. Tidak ada pula yang lebih tidak beradab.
Sebagai kesatuan, mestinya kita bersedih jika saudara kita direndahkan
karena etnisnya berbeda dengan kita. Bukan tertawa. Mestinya rasa
empati dan solidaritas kita tumbuh. Mestinya kita menggugat hinaan
itu! Bukan malah ikut tertawa menghina. Saya kecewa, Kawan.
Perbedaan etnis, suku, budaya bukanlah perkara salah-benar. Tiap
kelompok harusnya menyadari bahwa sejak awal Indonesia memang beragam.
Merasa diri lebih tinggi derajatnya dari kelompok lain hanya akan
menimbulkan konflik. Yang merasa diri paling benar memaksakan
keyakinan kelompoknya pada orang lain. Yang merasa diri beradab
menghujat kelompok yang dianggap tidak beradab.
Kawan,
Menurut saya perbedaan adalah perkara bagaimana kita berbesar hati
untuk menerima dan menghargai orang atau kelompok yang tidak sama
dengan kita. Andai kita semua mau membuka hati terhadap perbedaan dan
memiliki toleransi, saya yakin tak seorang pun akan tertawa saat
mendengar ucapan Balkan tadi.
***
"Belajar baik-baik dari Jawa! Kalau perlu kau ambil orang Solo supaya
perbaikan keturunan!"---"DPR Rasis!"----"Diam dulu! Ini kan hak Ketua DPR juga dong, Ketua Pansus!"
Kawan-kawanku,
Saya heran sekali dengan kalimat terakhir itu. Apa yang Balkan maksud
dengan hak ketua DPR dan hak Ketua Pansus? Hak untuk menghina orang
lain? Saya rasa, tidak ada orang yang memiliki otoritas menghina orang
lain, sekalipun ia pejabat pemerintahan. Kata-kata Balkan terkesan
sangat otoriter, seolah-olah ia berhak melakukan apapun sebab ia
adalah anggota DPR.
Menurut Pansus RUU Pornografi dan pihak yang setuju terhadap
disahkannya RUUP, RUU ini tidak akan menimbulkan disintegrasi bangsa.
Alasan mereka, RUU ini tidak diskriminatif. RUUP mengakomodir
kepentingan seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional.
Mari kita gugat pernyataan itu, kawan! Benarkah RUU ini mengakomodir
semua itu dan tidak diskriminatif? Pertanyaan ini sangat patut
dilayangkan dan dijadikan bahan pertimbangan, sebab ternyata Balkan
Kaplale, anggota DPR RI dan ketua Pansus yang menyusun RUUP adalah
seseorang yang Rasis!
Kawan,
Seseorang yang sudah tidak adil sejak dalam pikirannya tidak akan bisa
bertindak adil dalam perbuatannya. Perkataan Balkan Kaplale pada
Albert yang rasis dan menghina menunjukkan pikirannya yang tidak adil
terhadap saudara-saudara kita orang Papua. Maka saya berani berkata,
RUUP yang diketuai oleh orang rasis dan tidak adil itu tidak layak
disahkan!

Dengan cinta pada bangsa dan Negara Indonesia,

Maria Listuhayu.

* saya memiliki rekaman rapat dengar pendapat umum ini.
** tulisan ini akan dikirim ke media sebagai surat terbuka.

Senin, 27 Oktober 2008

Bebas??


Kepalan tangan tanda pembebasan dari tirani...namun ketika tersadar...tak ada kebebasan yang sejati...lantas apa yang sebenarnya di dambakan?
kenyataan-kenyataan seoalah semakin merogoh dalamnya idealisme, menjadi faktor utama penghancuran pondasi prinsip...bagi seorang mahasiswa, ini bukan tawaran yang main-main...hanya ada 2 pilihan; maju atau mundur sambil berlari ketakutan....ha.ha..ha...idealisme sebatas teriakan haus dan lapar....sebatas nilai D terpampang diatas secarik kertas bertandatangan...hanya karena itulah sebuah idealisme besar mengubah "dunia" berantakan bagai kertas lusuh dimakan usia.....